Menemukan keberanian.

image source : here

/be·ra·ni/ a mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya; tidak takut (gentar, kecut): kita harus -- mempertahankan kebenaran;

Satu kata tersebut baru benar-benar saya resapi artinya di usia tepat 21,25 tahun. Saat saya menginjak usia 21 tahun, saya telah membuat perjanjian dengan diri saya sendiri untuk terus belajar mengenali diri saya, termasuk memaafkan, menerima, dan mencintai diri saya sendiri. Hal tersebut membutuhkan keberanian yang cukup besar. Tidak setiap orang mampu untuk melakukan ini, saya sendiri baru benar-benar belajar berani di usia 20an.

Keberanian. Maknanya menjadi sangat luas jika menggunakan istilah dalam bahasa ibu saya. Keberanian yang saya maksud di sini adalah courage, bukan bravery. KBBI sudah menambahkan contoh penggunaan kata keberanian untuk istilah courage, yaitu kita harus -berani- mempertahankan kebenaran;.

Berani tidak hanya berarti tidak takut; seperti tidak takut hantu, tidak takut ketinggian, tidak takut hewan reptil, insekta, atau bahkan moluska. Termasuk tidak hanya berani hidup sendiri, berani berbicara di depan umum, atau pun berani mengambil resiko. Belajar berani yang saya maksud dalam hal ini adalah berani menjalankan hidup saya sesuai dengan kebenaran yang saya percaya, mengambil pilihan sesuai dengan panggilan hati saya. Tanpa membertimbangkan faktor eksternal seperti ekspektasi orang lain misalnya.

Ada perbedaan yang sangat besar antara bravery dan courage. Courage membutuhkan keteguhan hati. Saat seseorang memiliki keberanian yang saya maksud, bukan berarti orang tersebut tidak takut dengan konsekuensi yang ada. Namun pada akhirnya ia tetap memilih, bertahan, berjuang, untuk berani karena ia tahu pilihan yang ia ambil akan sepadan dengan perjuangannya.

We live in an incredibly busy-and-crowded world.
Bagaimana caranya untuk tetap menjadi manusia dalam dunia yang menuntut kita menjadi mesin ini? Akhirnya saya mempertanyakan hal itu pada diri saya. Pada saat saya sadar saya merasa terlarut mengikuti arus dunia sampai saya sempat kehilangan esensi saya sebagai manusia.

Every person in this world is unique. Setiap orang diciptakan memiliki nilai, rasa, warna, peran, dan tujuannya masing-masing. Namun, kita manusia merupakan makhluk sosial, tentunya kita tidak bisa hidup sendirian. Seringkali kita melakukan penyesuaian untuk bisa hidup berdampingan. Sebelum teknologi berkembang pesat, kita hanya perlu menyesuaikan dengan tetangga samping rumah, mentok-mentok satu kampung. Namun sekarang, kita hidup sebagai masyarakat global yang setiap detiknya dihidangkan informasi dari berbagai belahan dunia. Kemudian, secara sadar atau tidak setiap orang menetapkan standar kebahagian (dengan hal-hal yang harus dicapai atau dimilikimasing-masing dari pengetahuan yang ia miliki terhadap lingkungannya.

Hidup bersesuaian dengan lingkungan adalah hal yang sangat baik, bahkan dianjurkan. But, notice that there's a fine line between adapt and adjust. Lagi-lagi, dalam bahasa ibu saya, keduanya berarti menyesuaikan, namun proses yang terjadi dalam kedua kata kerja tersebut berbeda. Saya pribadi menyarankan untuk melakukan proses penyesuaian seperti kata adapt. Adaptasi tidak akan merubah esensi diri kita, sedangkan proses adjust seringkali memaksakan kita untuk berubah, terkadang sampai kita kehilangan jati diri.

Orang yang paling merasakan konsekuensi atas setiap pilihan yang kita buat adalah kita sendiri. Namun, seringkali kita lebih mempertimbangkan pendapat orang lain dalam keputusan yang kita buat. Baik pendapat satu orang tertentu, atau pendapat mayoritas; social expectation. That's very unhealthy, psychologically, and perhaps physically. 

Selama ini saya merupakan orang yang hidup dengan mengikuti social expectation. Saya sendiri baru benar-benar sadar pada saat usia saya 20 tahun. Setahun terakhir ini saya akhirnya memutuskan untuk berhenti. Dari setiap hal yang saya jalani, dan hanya mempedulikan kebutuhan primer saya sebagai manusia, yaitu sandang, mangan, dan papan saja. Saya beristirahat dari kehidupan sosial saya, saya beristirahat dari pendidikan formal saya, saya beristirahat dari kehidupan saya secara garis besar. The major cause is maybe Im tired of walking on the right track without knowing sure where its gonna end.

See? Saya berhenti, karena saya bahkan tidak yakin, apakah saya akan benar-benar bahagia setelah menjalani semua ini? Saya bahkan pernah skeptis dengan pilihan jurusan saya. Padahal bukan karena jurusan saya sebenarnya. Karena, jika iya, saya tidak mungkin menjadi mahasiswa yang cukup aktif dan memiliki track akademis yang cukup baik.

Kesalahan saya adalah, saya tidak pernah benar-benar menanyakan pada diri saya.
Sebenarnya apa nilai yang saya percaya,
Sebenarnya apa hal yang saya cinta,
Sebenarnya apa hal baik yang mampu dan mahir untuk saya lakukan,
Sebenarnya apa hal yang dapat saya perankan selama hidup di dunia,

I never asked myself the right questions before. Tapi lagi-lagi itu tidak apa, pernah dengar kalau setiap orang punya waktu dan kecepatannya masing-masing?

Lalu, setelah mempertanyakan, menjawab pertanyaan penting tersebut, barulah saya benar-benar bisa menjalankan hidup saya dengan benar dan berani. Sesuai dengan yang saya percaya. Ini keberanian terbesar saya selama saya hidup di dunia sampai saat ini.

Semoga kamu pun bisa menemukan keberanianmu.

Selamat berjalan,
Shan.

Comments

Popular posts from this blog

Maaf, cinta...

Houtarou Oreki

Kartografi Penginderaan Jauh 2.0 : Pendahuluan